Pembagian eskalator di sisi kiri untuk berdiri dan sisi kanan untuk berjalan mungkin masih awam di Indonesia. Terbukti kala MRT Jakarta di uji coba, masih ada beberapa warga yang belum mengerti akan aturan ini. Meski simbol pemberitahuan pada eskalator sudah terpampang.
Bahkan bila melihat dari akun resmi @MRTJakarta masih ada beberapa warganet yang mengeluhkan ketidaktahuan penumpang lain akan pembagian sisi eskalator ini.
Smg di dpn eskalator stasiun2 lain @mrtjakarta sgra dipasang yg sama krn msh bny penumpang yg diam di sblh kanan. Foto stasiun haji Nawi. pic.twitter.com/WUPDCKo9Ji
— IG : hendrawyudi (@hendrawyudi) April 25, 2019
Dear @mrtjakarta saran aja nih, kayanya di tiap eskalator mesti ada security yg jaga deh, buat negur yg klo bediri diem di sebelah kanan, masih sering bgt saya nemuin kaya gini #mrtjakarta
— Michael Dimas (@DimasPrasetyoMr) April 18, 2019
Eits, tapi respon positifnya juga ada kok.
Kalo di Eskalator MRT bisa kayak gini, harusnya di eskalator KRL bisa lah ya 🙂 pic.twitter.com/tabdQVVLzG
— Adriansyah Yasin Sulaeman (@adriansyahyasin) March 25, 2019
Bila di negara dengan pola kerja serba cepat, layaknya Singapura ataupun Jepang, aturan eskalator ini tentunya sudah tidak asing lagi bagi warganya.
Tapi sebenarnya efektifkah aturan eskalator yang mengosongkan satu sisi nya guna mendahulukan orang yang terburu-buru ini?
Pembahasan keefektifan aturan eskalator memang tak pernah satu suara, ada banyak studi yang membahas mengenai keefektifan ini. Namun jawaban sederhana adalah berdiri diam di eskalator bisa jadi pilihan yang efektif.
Pada tahun 2015, London Underground pernah menerapkan uji coba di Holborn Station untuk tidak membagi eskalator menjadi dua sisi.
Dari hasil uji coba di stasiun tersibuk dengan jumlah penumpang 56 juta orang per tahunnya ini menghasilkan bila tidak menyisahkan satu sisi untuk berjalan pada eskalator ternyata dapat mengurangi penumpukan penumpang hingga 30 persen.

Sementara menurut penelitian Universitas Greenwich, bila eskalator dibagi menjadi dua sisi, hanya 25 persen orang saja yang menggunakan eskalator untuk berjalan, sedangkan 75 persen sisanya memutuskan untuk berdiri.
Perusahaan penyedia eskalator terbesar, Otis dilansir dari New York Times juga menyarankan agar pengguna eskalator sebaiknya tidak berjalan. Hal senada juga disampaikan oleh Japan Elevator Association, yang menyatakan sebaiknya eskalator tidak dibagi menjadi dua sisi (Sisi kiri: berdiri, sisi kanan: berjalan) atau hanya disediakan satu sisi saja untuk berdiri.
Berdasarkan penelitian Federal Highway Administration, U.S, menunjukkan orang yang berdiri hanya butuh rata-rata, tiga kaki persegi 0,28 meter persegi ruang untuk merasa nyaman secara psikologis.
Sedangkan pejalan kaki membutuhkan lebih dari delapan kaki persegi 0,74 meter persegi. Artinya, dari perspektif psikologis eskalator bisa menampung lebih dari dua kali lipat jumlah orang berdiri daripada orang yang berjalan.
Serupa dengan penelitan tersebut, laporan The Conversation menyebutkan bila mengizinkan orang untuk berjalan di sisi kiri memang memungkinkan beberapa orang untuk bergerak lebih cepat, namun justru hal tersebut mengurangi kapasitas eskalator dan memperlambat hal yang lainnya.
Pasalnya dalam situasi tertentu, pejalan kaki akan cenderung berjalan jauh lebih lambat daripada saat berada di ruang yang lapang.
Kecepatan yang lebih lambat ini disebabkan oleh kurangnya ruang, serta kebutuhan setiap pejalan kaki untuk membuat lebih banyak keputusan, seperti “Haruskah saya mempercepat? Pelan-pelan? Haruskah saya lewati orang ini? Atau sebaiknya tunggu saja?”, terlalu banyaknya pemikiran seperti ini membuat pejalan kaki berperilaku serupa dengan orang-orang di sekitarnya. Mentalitas untuk mengikuti arus membuat aktivitas berjalan menjadi tidak melelahkan secara mental.
Sehingga, ketika orang ingin naik eskalator, mereka akan sering melakukan apa yang dilakukan orang di depannya. Jika orang di depan mereka berjalan, mereka berjalan. Jika orang di depan mereka berdiri, mereka berdiri. Yang diperlukan hanyalah seseorang untuk memulai polanya.

Pada tahun 2014, MRT Hongkong menerapkan pernah peraturan untuk tidak berjalan di eskalator, Jepang pun pernah menerapkan hal serupa di tahun 2018, begitupun dengan London.
Meski secara teori tidak membagi eskalator menjadi dua sisi (berjalan dan berdiri) lebih efektif, namun penerapannya tidaklah mudah.
Penulis media online Vox.com, pernah bertanya kepada followersnya di twitter akan peraturan tidak membagi dua sisi eskalator ini. Beberapa followers-nya beranggapan bila gagasan ini kurang tepat.
This is so typical of a concept rule that is completely disconnected from actual experience. Efficiency requires two lanes of usage. No one deserves the inconvenience this would create.
— Gerry Priesing (@AltonMann) December 21, 2018
Doesn’t make sense to use both sides to stand. It would affect traffic flow, in my point of view. I’m not a subway/metro commuter, but I’ve used this transportation when traveling, it really makes a difference when one side stands and the other is free.
— Karina Moreno (@karinaamc) December 21, 2018
Mungkin aturan untuk berdiri diam di eskalator kelihatan berlawanan dengan intuisi pejalan kaki yang beranggapan bila berjalan bisa lebih cepat.
Namun seperti yang sudah diuraikan di atas, bila kecepatan berjalan kaki setiap orang itu tidaklah sama. Inkonsistensi ini menyebabkan lalu lintas menumpuk dan justru menyebabkan eskalator berjalan tidak efektif dan bisa memperlambat segalanya bagi semua orang.
Tapi manakala tidak ada orang lain di eskalator, dan tidak ada yang melintas atau melewati kamu, berjalan tentu lebih efisien. Berdiri diam jadi strategi paling efisien saat pengguna eskalator ramai.
Baca juga:
- Jangan Asal Mogok Kerja, Pahami Hal Penting Ini Terlebih Dahulu!
- Bagaimana “Hidup” Netflix Selama Ini?
- 6 Perusahaan RI Masuk Daftar Tempat Kerja Terbaik di Dunia, Adakah Kantormu?