Now Reading
Kontrak Kerja Larang Pekerja Menikah atau Hamil, Bolehkah?

Kontrak Kerja Larang Pekerja Menikah atau Hamil, Bolehkah?

Pekerja menikah

“Bila dalam perjanjian kerja atau kontrak kerja tertuang larangan untuk menikah atau hamil dalam periode tertentu, bolehkah?”

Sebenarnya bila perusahaan mematuhi Undang-undang Ketenagakerjaan, kontrak kerja yang berisi larangan pernikahan atau hamil tidak pernah ada, berikut penjabarannya:

Larangan Pekerja Menikah Tidak Diperbolehkan

Dalam Putusan MK 12/2017, Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan tertuang:

Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan pernikahan dengan pekerja lainnya di dalam satu perusahaan

Jadi sejak adanya Putusan MK 13/2017, pengusaha tidak boleh melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (“PHK”) dengan alasan ikatan perkawinan. Selain itu, perusahaan atau pengusaha dilarang memberlakukan larangan menikah dengan teman sekantor.

Bila larangan tersebut masih tertuang dalam kontrak kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama, maka hal tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan tidak berlaku. Kamu juga diperkenankan mengabaikan klausul tersebut, karena hal itu tidak memiliki kekuatan hukum.

Baca juga:  Pemotongan Gaji Karyawan karena Terlambat atau Absen Kerja, Bolehkah?
Kontrak kerja
sacemploymentlawyer.com

Kontrak Kerja yang Berisi Larangan Pekerja Hamil Juga Tidak Diperkenankan

Dalam perjanjian kerja juga tidak boleh ada larangan hamil atau adanya pemutusan hubungan kerja bila pekerja hamil. 

Pasalnya dalam Pasal 153 ayat (1) huruf e Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”) tertuang pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya.

Selain itu perusahaan juga tidak boleh melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bila;

See Also
BPJS Kesehatan

  • Pekerja berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama
    waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;
  • Pekerja berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban
    terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  • Pekerja menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
  • Pekerja mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat
    buruh, pekerja melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
  • Pekerja yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan
    pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
  • Karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis
    kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
  • Pekerja dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit
    karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu
    penyembuhannya belum dapat dipastikan.
Baca juga:  Bolehkah Karyawan Izin Cuti Dadakan? Ini Jawabannya

 

View this post on Instagram

 

A post shared by Woke.id (@wokedotid) on

close