“Sebel deh, pekerjaan yang aku kerjakan nggak sesuai dengan kontrak kerja atau perjanjian kerja yang dibuat, aku harus apa ya?
Bila Anda pekerja yang punya keluhan seperti di atas, mari kita bantu bahas penyelesaiannya ya!
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai pertanyaan di atas, mari kita mengenal apa itu kontrak kerja atau perjanjian kerja terlebih dahulu.
Dalam Pasal 1 angka 14 UU Ketenagakerjaan dijelaskan perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.
Sedangkan hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.
Sehingga hubungan kerja yang terjadi antara pekerja dengan pemberi kerja hanyalah sebatas hak dan kewajiban yang tertuang dalam perjanjian kerja atau kontrak kerja semata.
Artinya selama tidak tertuang dalam kontrak kerja, maka pekerja dan pemberi kerja tidak boleh melakukan hal lain di luar perjanjian kerja yang telah disepakati.
Selanjutnya dalam Pasal 52 ayat (1) UU Ketenagakerjaan dijelaskan bila perjanjian kerja harus dibuat atas dasar:
- Kesepakatan kedua belah pihak;
- Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
- Adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
- Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang undangan yang berlaku.
Lalu dalam Pasal 52 ayat (3) dijelaskan apabila perjanjian kerja dibuat bertentangan dengan ketentuan yang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dan b maka perjanjian kerja batal demi hukum.

Bagaimana bila pemberi kerja atau pengusaha tetap memaksa pekerja melakukan pekerjaan di luar kontrak kerja?
Menurut Tri Jata Ayu Pramesti, S.H dilansir dari Hukumonline (29/03), bila pemberi kerja memaksa agar si pekerja melakukan pekerjaan yang tidak sesuai kontrak kerja, maka perjanjian kerja bisa dinyatakan batal demi hukum.
Hal ini tertuang prinsip hukum perjanjian dalam Pasal 1323 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) yang mengatur bahwa:
Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang mengadakan suatu persetujuan mengakibatkan batalnya persetujuan yang bersangkutan, juga bila paksaan itu dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak berkepentingan dalam persetujuan yang dibuat itu.
Ketentuan ini mengandung arti bahwa paksaan yang terjadi apabila seseorang memberi persetujuannya karena ia takut pada suatu ancaman. Jika suatu perjanjian dibuat di bawah ancaman, yakni ancaman bahwa pekerja akan dipecat tanpa pesangon, maka perjanjian kerja atau kontrak kerja menjadi batal demi hukum.