Pemerintah menyiapkan dua jaminan sosial baru, yakni jaminan sosial yang menjamin masyarakat yang di-PHK oleh perusahaan agar tetap mendapatkan pemasukan selama masa menganggur, dan jaminan pelatihan dan sertifikasi bagi calon tenaga kerja baru yang tengah dalam masa persiapan masuk ke dunia kerja.
Nantinya, jaminan baru yang diwacanakan Menteri Ketenangakerjaan Hanif Dhakiri akan diberi nama Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dan Jaminan Pelatihan Sertifikasi (JPS). Kedua jaminan ini melengkapi jaminan sosial BPJS Ketenagakerjaan yang telah ada sebelumnya, seperti Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun (JP), dan Jaminan Kematian (JKM).
Menurut Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri dilansir dari Tirto (14/8), dua jaminan ini bisa jadi instrumen negara untuk melindungi warga dari disrupsi ekonomi yang membuat pasar tenaga kerja makin dinamis. Ada pekerjaan yang mati, ada yang muncul. Sehingga korban korban PHK tetap bisa kami lindungi.
Tanggapan Pihak BPJS Ketenagakerjaan
Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan, Agus Susanto, mengamini tengah mengkaji usulan tersebut. Bahkan, saat ini Jaminan Pelatihan Sertifikasi (JPS) sudah tahap uji coba yang dilakukan secara piloting di DKI Jakarta dan Banten. Namun, JPS belum masuk sebagai jaminan sosial baru yang diberikan oleh BPJS TK. JPS masih sebagai tambahan kegiatan bagi BPJS TK saja.
Sementara untuk usulan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), BPJS baru menyiapkan kajian. “Kami sedang melakukan kajian penambahan program jaminan tersebut,” ujar Agus.
Meski kewajiban tersebut akan dialihkan ke BPJS Ketenagakerjaan belum tentu hal ini mengurangi biaya yang ditanggung pengusaha.
Justru, penambahan dua program jaminan di BPJSTK ini dinilai akan meningkatkan kewajiban pengusaha membayar premi.
Tanggapan Serikat Pekerja
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Timboel Siregar, menyambut positif wacana ini dan berharap kedua program tersebut bisa segera terealisasi. JKP dinilai akan menjadi solusi bagi korban PHK.
“JKP ini semacam jaminan pesangon, yang akan menjamin pekerja mendapatkan pesangon dengan mudah tanpa harus berselisih ke Pengadilan Hubungan Industrial sampai Mahkamah Agung (MA),” terang Timboel.
JKP diyakini dapat menciptakan hubungan industrial yang berkeadilan. Selain itu JPS juga dianggap perlu bagi pekerja untuk membantu mendapatkan pekerjaan lebih cepat.
Pelaksanaan JPS perlu dilengkapi dengan basis data yang baik. Sehingga JPS nantinya akan terkoneksi dengan kebutuhan industri sehingga sesuai.
“Kehadiran JPS menjadi kebutuhan pekerja untuk meningkatkan kemampuannya dan mendapatkan pengakuan sertifikasi,” jelas Timboel.

Pengusaha Tolak Usul Menaker
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani menolak usulan Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri soal dua tambahan jaminan kerja yang akan dikelola BPJS Ketenagakerjaan.
Menurut Hariyadi dilansir dari Detik.com (14/8), saat ini pengusaha belum memprioritaskan masalah tenaga kerja karena tak memiliki data yang pasti terhadap jumlah pengangguran. Sebab, ada perbedaan data kemiskinan serta pengangguran milik Badan Pusat Statistik (BPS) dengan BPJS Kesehatan dari sisi penerima bantuan.
“Mohon maaf ya, karena kalau kita lihat datanya dari BPS itu bilang yang miskin 25 juta, 9,1%. Tapi kalau kita lihat dari data penerima bantuan iuran penerima BPJS Kesehatan, itu 96,8 juta orang. Pertanyaannya dengan jumlah angkatan kerja 133 juta, ditambah yang miskin 96,8 juta, kami berpikir, kapan mau sejahteranya,” imbuhnya
Menurutnya, yang menjadi kunci persoalan bukanlah soal pelatihan vokasi yang selama ini digadang pemerintah untuk mengurangi pengangguran hingga kemiskinan, melainkan dari sisi penciptaan tenaga kerja.
Oleh sebab itu, menurut Hariyadi, sebaiknya usulan tambahan jaminan kerja tak perlu buru-buru. Sebab menurutnya, yang paling penting saat ini ialah penciptaan lapangan kerja.